KONFLIK
ORGANISASI
Konflik berasal dari kata
kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi
oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan
tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik
dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang
terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konflik.
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari
fungsi dan ada juga yang membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam
suatu organisasi.
Jenis Konflik.
a. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut :
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama
dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau
setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi
komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan .
2) Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Masalah ini terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan .
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
Metode Penyelesaian Konflik
Metode ini dapat terjadi melalui
cara-cara
1) kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan
otokratik;
2) penenangan (smolling) yaitu cara yang
lebih diplomatis;
3) penghindaran (avoidance) dimana
manajer menghindari untuk mengambil posisi yang tegas;
4) penentuan melalui suara terbanyak (majority
rule) mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok prosedur yang adil.
Keberadaan teori konflik muncul setelah
fungsionalisme, namun sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja
dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme Ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf,
yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi
(imperality coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu
tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja dari
pada modal dan buruh.
Dahendorf menolak utopia teori fungsionalisme
yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah
masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan
saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan.
Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi
(imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria
tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi
ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok
peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive)
satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini
memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai
hubungan ‘authority” dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk
menentukan atau memperlakukan yang lain, sehingga tatanan sosial menurut
Dahrendorf, dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam
bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi yang ada hingga seluruh lapisan
sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat
kelompok-kelompok saling bersaing.
Revolusi dan konflik antara kelompok-kelompok
itu adalah redistribusi kekuasaan atau wewenang, kemudian menjadikan konflik
itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya kelompok
peran baru memegang kunci kekuasaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi
di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan
pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus
peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan
wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada,
dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. sehingga kenyataan sosial
merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam
bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari
upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara
kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk
wewenang dan kekuasaan.
Metode Pengelolaan Konflik
Metode Stimulasi Konflik
Metode stimulasi konflik digunakan untuk
menimbulkan rangsangan karyawan karena karyawan pasif yang disebabkan oleh
situasi dimana konflik terlalu rendah. Rintangan semacam ini harus diatasi oleh
manajer untuk merangsang konflik yang produktif.
Metode stimulasi konflik meliputi :
1) pemasukan atau penempatan orang luar
ke dalam kelompok
2) penyusunan kembali organisasi,
3) penawaran bonus, pembayaran intensif dan
penghargaan untuk mendorong persiapan,
4) pemilihan manajer-manajer yang tepat dan
5) perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.
Metode Pengurangan Konflik
Biasanya para manajer lebih mementingkan upaya
mengurangi konflik dari pada upaya menstimulasi konflik-konflik. Metode
pengurangan konflik mengurangi antagonisme yang timbul karena konflik. Jadi,
metode-metode tersebut manajer konflik dengan jalan “mendinginkan situasi yang
panas”. Tetapi, mereka sama sekali tidak mempersoalkan kausa yang menyebabkan
timbulnya konflik orisinal tersebut.
Ingat contoh eksperimen yang dilakukan oleh
sherief dan kawan-kawannya, yang suatu konflik pada kamp anak-anak muda
tersebut menjadi makin intensip dan disruptif, menerapkan eksperimen-eksperimen
berupa penerapan mereka aneka macam cara untuk mengembalikan harmoni antara
kelompok-kelompok yang ada.
Pertama-tama mereka mencoba menerapkan tiga
macam metode yang ternyata tidak efektif sama sekali.
Mereka menyediakan informasi kepada
masing-masing kelompok tentang kelompok lain. Akan tetapi tersebut demikian
bertentangan dengan impresi negatif yang telah muncul dalam pikiran-pikiran
anak-anak muda tersebut, sehingga mereka menolaknya
Mereka memperbanyak kontak-kontak yang
menyenangkan antara kelompok-kelompok yang ada, dengan jalan menyuruh
mereka makan bersama dan menonton film, tetapi ternyata friksi semakin
meningkat, sewaktu kelompok-kelompok yang bersaing mendesak-desak anggota lain
dari bangku-bangku duduk, dan mereka saling mengejek.
Mereka meminta agar para pemimpin kelompok
mengadakan perundingan dan memberikan informasi positif tentang masing-masing
kelompok yang ada. Tetapi ternyata bahwa para pemimpin tersebut merasa bahwa
mereka akan kehilangan muka apabila mereka mencoba menyelesaikan
perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada.
Akhirnya ternyata bahwa dua buah metode yang
diterapkan memberikan hasil yang diharapkan.
Pada pendekatan pertama yang bersifat efektif,
para periset mensubtitusi tujuan-tujuan luhur (superior) yang diterima oleh
kelompok-kelompok yang ada sebagai pengganti tujuan-tujuan kompetitif yang
menyebabkan mereka terpisah satu sama lain. Sebagai contoh dikatakan kepada
anak-anak muda tersebut bahwa kamp tersebut tidak mampu menyewa project film
dari luar, karena kekurangan dana. Spontan kedua kelompok berpatungan dalam hal
pengumpulan uang untuk tujuan tersebut dan ternyata bahwa upaya bersama mereka
berhasil meredakan tingkat konflik yang terjadi.
Metode efektif kedua adalah mempersatukan
kelompok-kelompok yang ada dengan jalan mengadakan menghadapkan mereka dengan
sebuah bahaya yang mengancam mereka semua atau ‘musuh’ bersama yang
dihadapi oleh mereka.
Kelompok-kelompok secara terpisah, tidak mampu
menarik truk yang mengangkut mereka ketempat reparasi, tetapi, dengan bekerja
sama hal itu dapat dilaksanakan dengan baiknya. Tindakan kerjasama dan sikap
persahabatan antara anggota-anggota kelompok yang ada.
Metode ini mengurangi permusuhan (antagonis)
yang ditimbulkan oleh konflik dengan mengelola tingkat konflik melalui
pendinginan suasana akan tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada
awalnya menimbulkan konflik itu.
Metode pertama adalah mengganti tujuan yang
menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa diterima kedua kelompok
metode kedua mempersatukan kelompok tersebut untuk menghadapi ancaman atau
musuh yang sama.
Kesimpulan Setelah
kita mengetahui apa itu konflik, konflik dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa
konflik bukanlah dihindari apalagi untuk di abaikan, akan tetapi konflik
hendaklah harus dihadapi atau di kompromikan kepada pihak yang
bertingkai. Konflik dapat diatas jika komunikasi diantara para pihak yng
terjadi konflik dapat dipahami dan dicari solusinya.
Pihak Pemerintah yang memiliki kekuasaan dan
memiliki kekuatan memberikan manajemen konflik yang baik sebagai moderator
terhadap 2 kubu yang mengalami konflik. Ketegasan pemerintah sangat dinantikan
dalam mengatasi konflik yang ada id negara kita. Kasus Cikeuting Dan Temanggung
adalah konflik horizontal yang sebenarnya peran pemerintah sangat penting untuk
bertindak dan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memberikan
kesempatan untuk berkompromi kepada kedua belah pihak sehingga tidak terjadi
konflik lagi.
Kita berharap ketegasan pemerintah dalam
masalah konflik di Negara ini haruslah jelas, disini Pemerintah adalah
moderator bagi pihak yang bertikai. Jika ada yang melanggar hukum maka Hukum
yang berlaku harus menindak pihak-pihak yang bermasalah. Setelah Hukum berjalan
maka manajemen konflik dilaksanakan oleh Pemerintah sehingga konflik tersebut
tidak akan terjadi kembali. Semoga........!!!!!!!!!
NAMA : FERDY ROBIYANTO
KELAS : 2KA12
NPM : 12111825
Tidak ada komentar:
Posting Komentar